Kebebasan berekspresi merupakan hak dasar manusia sebagi warga
negara. Hal ini juga mendorong kemandirian media dan pluralisme sebagai
prasyarat dan faktor utama dalam demoktratisasi yang ada. Masyarakat memiliki hak
untuk memiliki pendapat sendiri dan mengekspresikan pendapat mereka secara bebas. Masyarakat dapat mengeluarkan
pendapat atau ekspresinya melalui berbagai macam cara, misalnya melalui media televisi, radio, atau bisa juga dengan menerbitkan artikel, buku, dll. Hak untuk kebebasan
berekspresi sangat penting bagi masyarakat. Mereka bebas untuk mengkritik
negara tanpa takut akan dituntut, dan ini adalah fitur penting dari suatu
masyarakat yang demokratis. Dan hukum juga melindungi kebebasan kita untuk
menerima informasi ataupun dalam mengeluarkan pendapat.
Meskipun masyarakat
memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pandangan dan pendapat, masyarakat juga memiliki
tugas untuk berperilaku secara bertanggung jawab dan menghormati hak-hak orang
lain. Otoritas publik dapat membatasi hak masyarakat untuk kebebasan
berekspresi jika mereka dapat menunjukkan bahwa tindakan mereka memiliki dasar
yang tepat dalam hukum, dan yang diperlukan dan 'proporsional' dalam rangka
untuk melindungi keamanan
nasional, integritas teritorial atau keselamatan publik, mencegah gangguan atau
kejahatan, melindungi kesehatan atau moral, melindungi hak dan reputasi orang lain dan mencegah pengungkapan
informasi rahasia. Namun, otoritas publik yang relevan harus menunjukkan bahwa pembatasan
adalah 'proporsional', dengan kata lain pembatasan harus tidak lebih dari yang
diperlukan, sesuai dan tidak berlebihan dalam situasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kebebasan dan Tanggung Jawab
Pengertian kebebasan
Dalam filsafat, pengertian kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya
sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan ia ada sebagai konsekuensi
dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan berkehendak. Sudah menjadi
kodrat manusia untuk berpikir makhluk
yang memliki kebebasan, bebas untuk berpikir, berkehendak, dan berbuat.
Aristoteles sendiri mengatakan bahwa
manusia adalah mahluk yang berakal budi (homo
rationale) yang memiliki tiga jiwa (anima),
yakni:
a)
anima
acegatitiva atau disebut roh vegetativ. Anima ini
juga dimiliki tumbuhan-tumbuhan, dengan fungsi untuk makan, tumbuh dan
berkembang biak;
b)
anima
sensitiva, yakni jiwa untuk merasa, sehingga manusia punya
naluri, nafsu, mampu mengamati, bergerak dan bertindak;
c) anima intelektiva,
yakni jiwa intelek, jiwa ini tidak ada pada binatang dan tumbuhan-tumbuhaan. Anima intelektiva memungkinkan manusia
untuk berpikir, berkehendak, dan punya kesadaran.
Pengertian tanggung
jawab
Dalam filsafat, pengertian tanggung jawab adalah kemampuan manusia yang menyadari bahwa
seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Perbuatan tidak
bertanggung jawab, adalah perbuatan yang didasarkan pada pengetahuan dan
kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga.
Menurut Prof. Burhan Bungin (2006:43), tanggung jawab
merupakan pembatasan dari kebebasan yang dimiliki oleh manusia, tanpa
mengurangi kebebasan itu sendiri. Tidak ada yang membatasi kebebasan seseorang,
kecuali kebebasan orang lain. Jika kita bebas berbuat, maka orang lain juga
memiliki hak untuk bebas dari konsekuensi pelaksanaan kebebasan kita. Dengan
demikian, kebebasan manusia harus dikelola agar tidak terjadi kekacauan. Dan
norma untuk mengelola kebebasan itu adalah tanggung jawab sosial. Maka demi
kebaikan bersama, maka pelaksanaan kebebasn manusia harus memperhatikan
kelompok sosial di mana ia berada.
Teori tanggung jawab sosial adalah
respons terhadap kebuntuan liberalisme klasik di abad ke-20. Dalam laporan
Hutchins Commision di tahun 1947, teori tanggung jawab sosial menerima banyak
kritik dari sistem media laissez faire.
Kritik ini menyatakan adanya kecenderungan monopoli pada media, bahwa
masyarakat atau publik kurang diperhatikan
dan tidak berkepentingan dengan hak-hak atau kepentingan golongan di luar
mereka, dan bahwa komersialisasi menghasilkan budaya rendah dan politik serkah.
Teori tanggung jawab sosial menyatakan bahwa media harus meningkatkan standar secara mandiri, menyediakan materi
mentah dan pedoman netral bagi warga negara untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini sangat penting bagi media,
karena kemarahan publik akan memaksa pemerintah untuk menetapkan peraturan
untuk mengatur media.
B. Freedom
of Expression
Sejak era reformasi tahun 1998, di
Indonesia mengalami perubahan sistem idelisme media lebih bebas. Awalnya sistem
pers di era orde baru lebih ke otoritarian yang pemberitaan diatur oleh
pemerintah, namun sejak reformasi menjadi lebih cenderung bebas. Kebebasan dalam mengutarakan
ide dan karya menimbulkan banyak sekali media yang muncul tanpa batasan. Media
berhak berdiri dan memproduksi berita yang akan dipublikasi secara massal tanpa
harus takut dengan sistem pemerintahan yang ada. Sejak itulah freedom of expression lahir di Indonesia.
Freedom
of expression dalam media menjadikan media tersebut
menjadi alat yang luar biasa bagi peggunanya. Ada beberapa aspek yang membuat
media itu penting yaitu :
1)
Daya jangkau dari media yang sangat luas
menjadikannya alat untuk menyebar luaskan informasi
2)
Kemampuan media melipatkangandakan pesan
menjadi sangat luar biasa
3)
Setiap media dapat menuliskan ide sesuai
pandangannya masing-masing
4)
Media
berhak memberitakan secara luas ide atau karya.
Kebebasan dan tanggung jawab dalam
membuat informasi sebagai etika komunikasi masih bersifat kontradiktif dalam
pelaksanaannya. Namun kenyataannya kedua norma itu bukanlah kontradiktif. Tidak
harus memilih salah satu untuk ditinggalkan, tetapi sebagai sinkronisasi.
Kebebasan bukanlah lawan dari tanggung jawab, dan tidak akan kehilangan
kebebasan hanya untuk menjalankan tanggung jawabnya.
C.
Dilema
Regulasi Publik Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab
Media massa dapat memberikan informasi
kepada masyarakat. Informasi yang diberikan bisa dapat mempengaruhi pandangan hidup
dari segi sosial, budaya dan politik. Hanya saja, ada beberapa orang menelan
langsung informasinya tanpa ada analisis selanjutnya. Berbeda dengan orang yang
telah terlatih dan memiliki pendidikan lebih maka tidak akan mudah percaya dengan informasi
tersebut.
1. Alasan
regulasi publik: ketika informasi selalu interpretasi
Prioritas tidak bisa dimutlakkan,
kesulitannya muncul saat realitas tertentu memaksakan untuk menjadikan opini
entah secara halus dengan hegemoni atau secara kasar dengan penekanan pihak yang
demonstratif. Peran dari pers untuk bisa memberikan pemahaman mengenai dunia
yang bisa menghormati pluraritas yang mengantarkan pada pemahaman kritis dan
mendidik. Namun masalahnya meskipun sudah ada deontologi profesi, belum bisa
menjamin informasi yang diberikan itu benar atau malah bisa mengantarkan pada proses
pembodohan.
Harus
diakui
regulasi media sangat diperlukan dalam beberapa situasi. Pertama, regulasi
media sangat dibutuhkan dalam membantu konsumen dalam mendapatkan informasi
yang berkualitas. Kedua, regulasi menjaga aturan pasar agar lebih adil dengan
melawan kosentrasi media tertentu. Ketiga, menjamin pluralisme yang merupakan
bagian integral dari demokrasi.
2. Regulasi
publik dalam pluralisme: memperkuat deontologi profesi
Regulasi untuk menjamin pluralisme
memiliki keberagaman bentuk. Pertama, bisa dalam rangka menghindari dominasi
suatu bidang terhadap bidang lainnya. Kedua, menjamin memberikan pembedaan
lingkup riil dengan kekhasan ekspresinya untuk tetap mendapatkan akses yang
cukup representatif keruang publik. Ketiga, memungkinkan definisi politik
menurut tatanan prioritas sehingga publik menjadi tempat penilaian hirarki.
3. Berbagai
macam regulasi publik
Regulasi ini bersifat privat ketika
pelaksanaanya ditentukan oleh nurani pelaku komunikasi. Namun regulasi ini
dianggap pemerintah atau negara ikut campur.
4. Regulasi
prosedural
Cara peliputan, pengelolahan dan
presentasi yang penuh kebohongan menonjol dalam televisi. Contoh lembaga sensor
yang seharusnya melakukan filter terhadap tayangan tidak melakukan dalam media
televisi.
Regulasi publik menjadi penting dewasa
ini karena kecenderungan melemahnya pemaknaan realitas. Ketidakpedulian
terhadap makna ini tidak lepas dari tekanan atau obsesi pada teknik presentasi
sehingga mengorbankan pesan pokok. Rasionalitas instrumen membawa media terlalu menekankan sarana sehingga
sarana itu justru menjadi tujuan pada dirinya.[1]
D. Regulasi
Kebebasan Berekspresi di Indonesia
Pada Pasal 3 Ayat 1 UU No. 40
Tahun 1999 Tentang Pers menjelaskan fungsi pers adalah sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Dari keempat fungsi pers tersebut menurut
Amartya Sen, ada tiga manfaat penting yang dapat diambil dari adanya kebebasan
pers. Pertama, melalui pers kita dapat berkomunikasi dan lebih
memahami dunia secara lebih leluasa. Kedua,menyuarakan aspirasi
kalangan yang termarginalisasi yang merupakan kontribusi besar terhadap
keamanan manusia. Ketiga, menyebarluaskan pengetahuan.[2]
Kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan mendapat informasi
juga merupakan salah satu tonggak penting sebuah sistem demokrasi. Dalam pendahuluan
UU No. 40 tahun 1999 Tentang Pers disebutkan bahwa
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan
asas-asas demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Oleh karena itu, tidak boleh
ada pengekangan apapun terhadap kebebasan pers. pemerintah juga tidak memiliki
hak untuk campur tangan dengan media massa apapun alasannya[3]
Agar dalam
menjalankan kebebasan pers dengan ajeg, maka diberi aturan dalam pelaksanaan kebebasan
pers seperti penjelasan UU No. 40 Tahun 1999 pasal 4 ayat 1.
Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa “kemerdekaan pers
adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran pentingnya penegakan supremasi hukum
yang dilakukan oleh pengadilan, tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam
kode etik jurnalistik serta dengan hati nurani insan pers”
Hal yang disayangkan ketika sudah adanya
pembatasan tegas dalam kebebasan berkomunikasi, yakni dalam konteks ini
kebebasan pers, masih saja sering terjadinya kebablasan. Dimana kebabalasan ini
bukan hanya merugikan rakyat, melainkan pers itu sendiri, seperti pelaggaran asas
praduga tak bersalah, pencemaran nama baik.
Maka tidak heran jika kini sering ditemukannya berita-berita atau
informasi-informasi fenomenal dan sensasional. Tidak jarang juga
kita sering mendapatkan berita gosip seputar
keluarga artis, dan bahkan ada pula media yang
mengeksploitasi berita kekerasan dan pornografi.
Kebebasan pers sebagai manifestasi dari kebebasan berpendapat dan
mendapatkan informasi merupakan salah satu hak asasi manusia. Namun hal itu
tidak berlaku mutlak karena hak itu dibatasi oleh hak orang lain. Hal tersebut
sesuai dengan sistem pers tanggung jawab sosial yang dianut pers Indonesia.
Dimana kebebasan pers diIndonesia mengemban kewajiban-kewajiban sebagaimana
diatur dalam undang-undang pers.[4] UU pers yang dimaksud di
sini ialah UU
No. 40 Tahun 1999 pasal 4 ayat 1.
Berbicara mengenai kebebasan, tidak lepas
dari yang namanya tanggung jawab seperti yang sudah disebut pada paragraf awal.
Dalam pers ditemui adanya Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia atau
yang biasa disingkat dengan KEJ PWI. dalam Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia
pasal 2 tercantum tanggung jawab pers, yakni “wartawan Indonesia dengan penuh tanggung jawab
dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau
gambar yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan bangsa dan kesatuan
negara.”
Makna membahayakan keselamatan dan keamanan negara pada pasal 2
adalah memaparkan rahasia negara atau militer
yang ada di Indonesia. Jika hal ini terjadi, Indonesia telah melakukan
kecerobohan yang luar biasa dan berakibat besar dalam rentang waktu dan
kerugian dari berbagai sektor.
Kebebasan berpendapat memang sudah diatur di UU pers.
alangkah baiknya dalam
sebuah kebebasan juga diselipkan etika-etika
untuk mengawal pers agar tetap pada norma dan UU pers yang sudah ditetapkan.
Jika hal tersebut dapat direalisasikan, maka kemerdekaan pers memang merupakan sarana
pemenuhan hak asasi manusia, yaitu hak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Jangan
pula kita lupakan, para pekerja pers perlu menyadari adanya tanggung jawab sosial
yang tercermin melalui pelaksana kode etik profesi secara jujur dan bertanggung
jawab.
E. 10
Prinsip Kebebasan Berekspresi
Sesungguhnya secara global maupun pada konstitusi
negara kita, hak individu untuk berinformasi, berpendapat dan berekspresi,
melalui berbagai media sangatlah dilindungi. Sebagai pedoman atas pelaksanaan
hak tersebut, secara umum dapatlah kita mengacu pada prinsip-prinsip yang
diramu oleh Free Speech Debate (http://freespeechdebate.com) dalam bentuk “10
Prinsip Kebebasan Berpendapat”.
1. Kita
semua manusia harus bebas dan dapat mengekspresikan diri, dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan informasi, ide serta gagasan, tanpa batas.
2. Kita
mempertahankan internet dan semua bentuk komunikasi lainnya terhadap
gangguan-gangguan yang tidak sah oleh kedua kekuatan publik maupun swasta.
3. Kita
membutuhkan dan membuat media yang terbuka beragam sehingga kami dapat membuat
keputusan berdasarkan informasi yang baik dan berpartisipasi penuh dalam
kehidupan politik.
4. Kita
berbicara secara terbuka dan dengan sopan tentang segala macam perbedaan
manusia.
5. Kita
mengizinkan untuk tidak ada tabu dalam diskusi dan penyebaran pengetahuan.
6. Kita
tidak melakukan ancaman kekerasan serta tidak menerima adanya intimidasi
kekerasan.
7. Kita
menghormati orang yang meyakini/mempercayai suatu hal tetapi bukan berarti atas
isi keyakinan atau kepercayaannya.
8. Kita
semua berhak atas kehidupan pribadi tetapi harus menerima pengawasan jika itu
adalah demi kepentingan publik.
9. Kita
harus mampu untuk melawan penghinaan pada reputasi kita tanpa mengganggu atau
membatasi perdebatan yang sah.
10. Kita
harus bebas untuk menantang batasan kebebasan berekspresi dan informasi yang
selama ini berdasarkan alasan untuk keamanan nasional, ketertiban umum,
moralitas dan perlindungan kekayaan intelektual.
BAB
III
KESIMPULAN
Dalam filsafat, pengertian kebebasan
adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sedangkan, pengertian
tanggung jawab adalah kemampuan manusia yang menyadari bahwa seluruh tindakannya
selalu mempunyai konsekuensi. Dengan demikian, manusia memiliki kebebasan dalam
berekspresi. Akan tetapi, kebebasan manusia tersebut tetap harus dikelola agar
tidak terjadi kekacauan. Dan norma untuk mengelola kebebasan itu adalah
tanggung jawab sosial.
Namun, kebebasan berekspresi itu sendiri
muncul di indonesia pada masa reformasi. Media memiliki kebebasan dalam mengutarakan ide dan
karya-karyanya untuk dipublikasikan kepada masyarakat tanpa perlu takut dengan
aturan-aturan dan sistem pemerintahan. Dan sejak itulah freedom of expression lahir di Indonesia.
Daftar Pustaka
Dr. Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi : Manipulasi media, Kekerasan dan pornografi. Yogyakarta.
Kanisiur
Elvinaro,dkk. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung. Simbiosa Rekatama Media
Johannesen, Richarrd L.. 1996. Etika Komunikasi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya Offset
Mufid, Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta. Kencana Prenada Media Group
Sobur, Alex. 2001. Etika Pers: Profesionalisme dengan Nurani.
Bandung.
Humaniora Utama Press
Sen, Amartya. 9 Mei 2004. Apa gunanya Kebebasan Pers?. Kolom TEMPO
J. Usfunan, “Profesionalisme Pers dan Penegakan Supermasi Hukum” Jurnal Dakwah. Nomor.10 tahun VI ( Januari-Juni 2005),hlm. 51
[1] Dr.
Haryatmoko, etika komunikasi : manipulasi media, kekerasan, dan pornografi.
2007. Kasinus : Yogyakarta. Hal.157
[2] Amartya Sen, apa gunanya kebebasan pers?, kolom
TEMPO, 9 Mei 2004, hlm 113
[3] Elvinaro dan Lukiati komala Erdinaya, komunikasi massa
suatu pengantar,( Bandung : Simbiosa Rekatama media, 2004 ), hlm 199
[4] J. Usfunan, “profesionalisme pers dan penegakan supermasi hukum,”jurnal
dakwahNomor.10 tahun VI ( januari-juni 2005),hlm. 51
lengkap sekali kak infonya
BalasHapusbeli kartu e toll di alfamart