PERS OTORITARIAN

A.      Sejarah Pers Otoritarian
Teori  pers otoritarian merupakan teori pers  yang paling tua kemunculannya dengan teori pers yang lain. Teori ini muncul pada masa akhir Renaisans. Setelah ditemukannya mesin Cetak. Pada masa Renaisans teori ini menganggap kebenaran bukanlah bersal dari pemikiran rakyat luas, tetapi darisekelompok kecil orang-orang bijak yang bertugas membimbing dan mengarahkan pengikut – pengikut mereka. Jadi kebenaran tersebut sangat dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas kebawah. Penguasa pada masa tersebut menggunakan pers untuk memberikan informasi kepada khalayak tentang kebijakan penguasa yang harus didukung dan dijalankan.[1]


Penggunaan teori ini tidak hanya terbatas pada abad XVI dan XVII saja. Teori pers otoritarian muncul dari sebuah pemikiran kekuasaan monarki absolute dan pemerintah yang Absolut dan pemerintahan yang absolute. Teori ini telah menjadi ajaran dasar di sebagian besar dunia secara berabad – abad. Secara kasarnya bahwa teori ini menentukan pola komunikasi massa bagi banyak orang dibandingkan dengan teori pers lainnya. Teori pers otoritarian dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dari suatu system pemerintahan.
Penguasa – penguasa waktu itu menggunakan pers untuk member informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggung jawab mendukung kebijakan pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana pertamamemberikan sebuah hak monopoli dan yang terakhir memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilang fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan.
B.      Konsep Teori Pers Otoritarian
Tujuan utama dari teori ini mendkung dan memajukan kebijakan pemerintahan yang berkuasa. Media massa pada teori atau system pers ini diawasi melalui paten dari kerajaan atau uzun lain yang semacam itu. Dan yang berhak menggunakan media ialah siapa saja yang memiliki izin dari kerajaan. Kritik terhadap mekanisme politik dan para penguasa sangat dilarang. Pada system pers otoritarian media massa dianggap sebgai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah walaupun tidak harus dimiliki pemerintah. Teori pers otoritarian ini membenarkan adanya sensor pendahulusan, pembredelan, pengendalian produksi, secara langsung oleh pemerintah yang dikukuhkan oleh perundang – undangan.[2]
Teori ini membentuk dasar bagi system – system pers di berbagai masyarakat modern, bahkan dinegara yang tidak lagi menggunakannya. Teori ini terus mempengaruhi praktek – praktek sejumlah pemerintahan ang secara teoritis menyetujui prinsip – prinsip libertarian. Dalam system otoritarian, perilaku dan kinerja politik dalam bentuk apa pun akan terawetkan karena memang tidak ada pintu politik untuk perubahan. Berbagai perubahan hanya terjadi jika dikehendaki oleh sang penguasa otoriter dan tentu saja bentuk – bentuk perubahan itu sesuai dengan kehendak sendiri. Analisisnya dalam teori ini pers tidak sesuai dengan konsep dasarnya yaitu sebagai media yang menginformasikan secara fakta dan bersifat netral. Dalam teori ini media terkesan sangat terkekang dan diatur semuanya oleh Negara dan tidak boleh  ada suatu informasi yang merugikan bagi Negara dan terkesan sangat berpihak. System pers semacam ini tidak cocok diterapkan dinegara demokratis. Teori pers otoriter di eropa telah berakhir dengan berakhirnya system politik otoriter yang dikalahkan oleh kaum libertarian.[3]
C.      Teori Pers Otoritarian Pada Masa Orde Baru di Indonesia
Pemerintah melalui departemen penerangan pada masa itu mengontrol seluruh kegiatan pers, mulai dari keharusan memiiki SIUPP bagi lembaga pers, control isi yang amat ketat terhadap pemberitaan pers berada di tangan pemerintah. Dan kenyamanan hidup masyarakat dan Negara. Kebebasan pers berada di tangan pemerintah. Pers tunduk pada system pers, system pers tunduk pada system politik. Dibawah rezim orde baru pers Indonesia berdaya, karena senantiasa dibawah bayang – bayang maut terancam pencabutan surat izin terbit.[4]
Fenomena pers pada era orde baru, kita memandang berbagai atribut yang menyebabkan sering terpojokn dalam posisi yang dilematis, di satu sisi tuntunan masyarakat mengharuskan memotret realitas social sehingga pers berfungsi sabagai alat control. Pada posisi lain, sebagai intuisi yang tidak lepas dari pemerintah, menyebabkan pers cenderung tidak terbuka terhadap pemerintah. Ini artinya, pers mau tidak mau harus memenuhi mekanisme yang menjadi otoritas pemerintah.
Indikasi masih adanya peringatan khusus terlihat dari bermacam – macam peringatan dari pemerintahan terhadap pers, jika dicermati berbagai peringatan pemerintah Orde Baru tersebut justru muncul disebabkan kepedulian pers pada kepentingan masyarakat. Ini artinya, pers yang mendapat peringatan pemerintah sama saja dia mempunyai otonomi, sebab ia berani menentukan pilihannya untuk berpihak kepada masyarakat. Pembatalan tiga penerbitan sekaligus pada 21 Juni 1994 (Tempo, Editor, Detik). Salah satunya dipicu oleh semangat pers untuk melihat kewajiban menyebarkan berita meskipun pada akhirnya terbentur oleh keperkasaan Negara. Tidak dipungkiri dominasi pemerintah ernah sangat kuat dalam kehidupan pers pada era kekuasaan rezim Orde Baru.
Fungsi pers sebagai jembatan penyambung antara masyarakat dan pemerintah sungguh tidak terlihat ada masa itu. Oleh sebab itu untuk tidak menafsirkan peran pers dalam kehidupam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta tetap menjaga hubungan sebagai penghubung pemerintah dengan masyarakat, pers harus diberikan ruang khusus untuk bisa menyebarkan informasi kepada masyarakat luas. Sebab ketika pemerintah dan masyarakat terlibat saling tarik menarik kepentingan, pemerintah dengan sifat absolute akan selalu berada diatas.
Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakseimbangan yang terus berkepanjangan maka konsep kebebasan pers harus diberikan dalam kadar yang lebih. Dengan demikian kebebasan bukan merupakan kewajaran, tetapi sudah menjadi tuntunan bagi pers. Pers Indonesia harus mampu menuntut kebebasan lebih ketika pemerintah sudah memberikan ruang. Namun terlepas dari kebebasan apa yang akan diwujudkan. Pers akan terpengaruh oleh sebuah system politik yang akan berkembang.
Pasca orde baru (masa reformasi), pers Indonesia seakan memperoleh kebebasan yang selama ini tidak pernah benar – benar dirasakan. Pemerintah Habibie yang pada masa itu menggantikan Soeharto mencabut SIUPP kemudian masa pemerintahan berikutnya dibawah pemerintahan Abdurahman Wahid (gusdur) dan Megawati Soekarnoputri, pemerintah membubarkan departemen penerangan. Era Kebebasan pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah menjadi system pers liberal. Hal ini dapat dilihat melalui minimnya self ceenshorsip pada media, artinya media lemah dalam melihat apakah suatu beruta layak dimunculkan dan sesuaidengan keinginan masyarakat.
Walaupun orde baru telah berakhir dan sekarang sudah menganut system pers yang liberal dan berdalih pada system pe tanggung jawab social, tetapi masih sedikit terlihat teori – teori pers otoriter di Indonesia. Hal itu terlihat dari tayangan media massa televise yang menyisipkan salah satu program pemerintah. Salah satu contohnya memuat pemasaran program pemerintah KB (Keluarga Berencana) dan penghematan penggunaan BBM bersubsidi.
Dengan Alasan untuk kebaikan masyarakat Indonesia, pemerintah menanamkan program tersebut dalam media massa. Dalam kejadian ini pemerintah mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam program yang sudah di terapkan oleh pemerintah. Dari tayangan tersebut terlihat peranan pemerintah yang cukup kuat pada media massa untuk dapat memaksa masyarakat agar mengikuti program tersebut. Dari sinilah sifat otoriter pemerintah sangat dominan terhadap media massa televisi saat ini.

*Footnote

[1] Fred S. Siebert, Empat Teori Pers, (Jakarta: PT Intermasa, 1986), hal 2
[2] Eyo Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal 1-2
[3] Hari Wiryawan, Dasar – dasar hukum media, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal 72
[4] Ibid, hal 121


DAFTAR PUSTAKA

Kahya Eyo. 2004. Perbandingan system dan Kemerdekaan Pers. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Siebert Fred S. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta: Pt Intermasa.
Wiryawan Hari. 2007. Dasar – dasar Hukum Media, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



0 comments:

Posting Komentar