Implementasi Filsafat dalam Ilmu Komunikasi



Ilmu komunikasi adalah ilmu yang amat luas. Maka dari itu, komunikasi memiliki cakupan yang amat penting apabila kita mulai meniliknya terutama dari segi filsafat ilmu, dan bukan hanya sebagai komunikasi dari pengertian harfiahnya saja. Filsafat ilmu ialah bagian filsafat yang mempertanyakan mengenai pengetahuan dan bagaimana kita mengetahui pengetahuan tersebut. Melalui tilikan filsafat ilmu, kita dapat memulai upaya penstrukturan ranah komunikasi yang beragam.
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Sehingga yang dimaksud dengan judul “Implementasi Filsafat dalam Ilmu Komunikasi” ialah penerapan dan pelaksanaan hal – hal filsafati dalam praktek ilmu komunikasi.



BAB II
KERANGKA TEORITIS
A.    Filsafat dalam Ilmu Komunikasi
Dalam berkomunikasi, amat berbahaya jika kita menelan mentah – mentah informasi atau pesan yang disampaikan pihak komunikator. Perlu dipertanyakan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis atas konteks pesan yang disampaikan. Hal ini diperlukan agar tercipta sebuah alur komunikasi yang kritis dan membangun. Berpikir filosofis adalah berpikir kritis dalam menangkap suatu fenomena dan pesan.
Berikut adalah pertanyaan – pertanyaan utama filsafat ilmu mengenai ilmu komunikasi yang berfungsi untuk menyegarkaan keyakinan yang sudah usang, dan mengingatkan ulang mengenai dasar-dasar keyakinan, yakni:
a.      Ontologis: “What is communication?” – Apa
Secara harfiah, kata komunikasi berasal dari Bahasa Inggris communication, yang merujuk pada kata latin yakni communis yang berarti “sama”. Kesimpulannya, secara harfiah komunikasi merupakan sebuah proses dalam menyamakan persepsi suatu hal diantara pihak-pihak yang melakukan kontak.
Menurut Hovland, Janis & Kelley pada 1953, “Komunikasi adalah suatu proses dimana individu (komunikator) menyampaikan pesan (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku individu lain (audiens)”[1].
Sedangkan Berelson&Steiner pada tahun 1964 mengatakan bahwa “Komunikasi: penyamapain informasi, ide, emosi, kemampuan, dll dengan menggunakan simbol – kata-kata, gambar, bilangan, grafik, dll. Ini adalah tindakan atau proses penyampaian yang biasanya disebut komunikasi”.[2]
b.      Epistemologis: “How to get communication?” – Bagaimana
Kita dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa verbal dan non-verbal. Komunikasi juga dapat dilakukan dengan syarat ada pihak yang berperan sebagai komunikator dan pihak yang berperan sebagai komunikan. Komunikasi dapat dilakukan dengan searah ataupun lebih, dengan lisan maupun non-lisan.

c.       Aksiologis: “What communication for?” – Untuk apa
Kegunaan komunikasi adalah untuk membuat dua pihak yang melakukan kontak memiliki suatu pesan dengan pengertian yang sama. Tujuan berkomunikasi yang lainnya adalah untuk membuat orang lain merasa, berpikir, dan lebih jauh lagi untuk melakukan apa yang kita inginkan. Secara singkat, tujuan berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita (Mulyana. 2000:5). Namun, terlebih dari itu George Herbert Mead mengatakan bahwasanya manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat melalui proses komunikasi. Maka, Charles H. Cooley mengatakan bahwa kita mengenal diri kita dengan konsep the looking glass self, yang berarti bahwa penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri ditentukan oleh penilaian oranglain terhadapnya[3]. Komunikasi juga berguna untuk mempermudah kegiatan manusia, yang berkaitan dengan pihak luar individu tersebut maupun yang berkaitan terhadap internal dari pribadinya. Sehingga komunikasi bukan hanya berguna untuk mempengaruhi pihak luar, namun juga sebagai wacana pengenalan identitas diri.
B.     Penerapan Filsafat terhadap Ilmu Komunikasi
Pada awalnya, komunikasi merupakan bagian dari pergelutan filosofis. Pergelutan filosofis ialah pemikiran yang mencoba untuk mencari dan merumuskan hakikat segala sesuatu[4]. Komunikasi merupakan bagian dari kajian filosofis hingga akhirnya berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu. Namun, bukan berarti ilmu komunikasi sudah tidak lagi membutuhkan peranan filsafat di dalam disiplin ilmu dan penerapannya. Menerapkan pemikiran filosofis dalam praktek komunikasi, merupakan sebuah bentuk implementasi filsafat dalam ilmu komunikasi itu sendiri.
Apabila ilmu komunikasi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari penyampaian pesan antarmanusia, dapat dinyatakan bahwa filsafat ilmu komunikasi mencoba mengkaji ilmu komunikasi dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya.[5]
Dewasa ini, ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika, yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Ilmu-ilmu tersebut merupakan anak dari ilmu komunikasi yang dihasilkan oleh penghayatan dan pengamalan nilai-nilai filsafat. Sehingga, komunikasi dapat menjadi kajian ilmu yang bermetode, bersistem, dan berlaku universal. Ia memiliki objek kajian formal (tingkah laku) dan material (manusia). Misalnya, jika ilmu komunikasi juga mempelajari penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang ditujukan kepada bebatuan serta tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi respon positif mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia akan mencederai kriteria objek keilmuannya.
Mempelajari ilmu komunikasi secara menyeluruh, mendalam dan spekulatif, berarti mempelajari filsafat komunikasi. Karena sifatnya yang luas itulah, maka kajian filsafat komunikasi sebagai langkah penelusuran akar ilmu komunikasi membutuhkan referensi dalam berbagai varian dan jenisnya menurut ruang lingkup akar komunikasi itu sendiri. Ketersediaan buku-buku referensi tentang akar-akar ilmu komunikasi adalah hal yang mesti.
Secara filosofis dan teoritis, misalnya, untuk mendalami psikologi sebagai akar ilmu komunikasi, maka penelaahan tentang perspektif-perspektif psikologi dan psikologi sosial misalnya, harus didukung oleh sejumlah hasil penelitian lapangan dan uji teoritis secara keilmuan. 
a.       Kajian Epistemologis
Kunci dari akurasi sebuah berita adalah fakta dari peristiwa. Seorang jurnalis harus membawa muatan fakta pada setiap pelaporan berita. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tidak berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Chamley (1965) mengungkapkan kunci standarisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurasi, seimbang, obyektif, jelas, singkat serta mengandung waktu kekinian. Secara epistemologis, cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, sistemis, dan logis.
b.      Kajian Ontologis
Pada aspek ontologis, kita dapat mengambil contoh real berupa kajian berita infotainment di ruang publik. Maka, pertanyaan yang paling mendasar ialah mengenai keberadaan jati diri infotaiment itu sendiri. Fenomena infotainment pernah berkembang di abad ke-19 dengan konten berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, dan pemujaan selebritis Amerika Serikat seperti Alexander Hamilton dan Thomas Jeferson yang berhasil populer, hasil dari elaborasi antara fakta dan desas-desus. Jurnalisme semacam ini, dinamai oleh akademisi komunikasi sebagai jurnalisme kuning.
Di Indonesia pun, jurnalisme kuning mencuat ketika masa Harmoko sebagai Menteri Penerangan. Banyak surat kabar kuning beredar secara massif diiringi dengan antusiasme masyarakat. Pasca orde baru, di mana kebebasan pers dibuka seluas-luasnya, TV nasional berlomba-lomba menayangkan berita infotainment.
Fenomena ini, akan terus berkembang di Indonesia dan tidak dapat dihindarkan dalam dunia jurnalisme. Karena realitasnya, acara semacam ini mendapatkan rating yang tinggi dan diminati oleh masyarakat.
Kajian ontologism, memberikan kita wawasan dan daya analisis agar kita bisa lebih bijak menyikapi fenomena-fenomena komunikasi dewasa ini.

c.       Kajian Aksiologis
Secara aksiologis, kegunaan infotainment dititikberatkan pada hiburan yang menarik audience dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat saja sebagai sebuah strategi bisnis di dunia jurnalistik. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain.
Ada penurunan nilai etika dalam prakteknya. Di mana media telah gagal menyaingkan antara nilai berita dan hiburan. Beberapa kaidah jurnalistik pun dilanggar demi mengejar keuntungan dan rating. Pada gilirannya, akan terbentuk audience yang dangkal karena terbangun atas tampilan bukan substansi.


DAFTAR PUSTAKA
Bambang Q-anees dan Elvinaro Ardianto. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Dani Vardiansyah, M. Si., Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. INDEKS. 2008)



[1] Bambang Q-anees dan Elvinaro Ardianto. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. hal 18
[2] Ibid. –hal 19
[3] Ibid.-hal 3 
[4] Ibid. –hal 49
[5] Dani Vardiansyah, M. Si., Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. INDEKS. 2008), hal. 21.

1 komentar: