SEMIOTIKA KOMUNIKASI

        A.    PENDAHULUAN
Charles sanders pierce adalah seorang ahli matematika dari AS yang sangat tertarik pada persoalan lambang-lambang. Ia melakukan kajian mengenai semiotika dari perspektif logika dan filsafat dalam upaya melakukan sistematisasi terhadap pengetahuan. Dalam hal ini, ia menggunakan istilah representamen yang tak lain adalah lambang (sign) dengan pengertian sebagai something which stand to somebody for something in some respect or capacity (sesuatu yang mewakilik sesuatu bagi seseorang dalam suatu hal atau kapasitas) (Matterlart dan Matterlart, 1998: 23). Dari pemaknaan ini dapat dilihat bahwa lambang mencakup keberadaan yang luas, termasuk pahatan, gambar, tulisan, ucapan lisan, isarat bahasa tubuh, musik, dan lukisan.
Cara berfikir pierce pada dasarnya dipengaruhi aliran filsafat pragmatisme yang cenderung bersifat empirisme radikal. Segala sesuatu adalah lambang, bahkan alam raya sebenarnya adalah suatu lambang yang bukan main dahsyat sifatnya. Karena jalan pikiran demikian maka banyak kalangan yang menilai bahwa pandangan pierce tentang lambang kadangkala bersifat kabur, sulit dibedakan mana yang benar-benar lambang dan mana yang bukan lambang. Hal ini membawa konsekuansi kaburnya batas-batas semiotika sebagai suatu disiplin.
Pierce mebedakan lambang menjadi tiga kategori pokok : ikon (icon), indeks (index), simbol (symbol). Yang dimaksud ikon disini adalah suatu lambang yang ditentukan (cara pemaknaannya) oleh objek yang dinamis karena sifat-sifat internal yang ada. Hal-hal seperti kemiripan, kesesuaian, tiruan, dan kesan-kesan atau citra menjadi kata kunci untuk memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang bersifat ikonik. Ikon karena itu, dapat dilihat karena memang mirip. Lukisan foto Dr. Ir. Sukarno Oleh Ratna Sari Dewi yang dapat memberikan kesan kecerdasan, keceriaan, kegigihan, kesederhanaan, serta jiwa kepemimpinan seorang Sukarno, semuanya adalah teks atau lambang-lambang ikonik yang membawa makna-makna tertentu.
B.     PEMBAHASAN
1.      Landasan filosofik semiotika
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, seangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).[1]
Menurut Saussure, semiotika didasarkan pada pemahaman jika selama perbuatan dan perilaku individu bermakna atau selama berfungsi sebagai tanda, di belakangnya harus memiliki sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem. Peirce menyebut  ilmu ini adalah semiotika (semiotics). Menurut Peirce, penalaran manusia dilakukan melalui tanda. Logika ini sama dengan semiotika dan semiotika bisa diterapkan disegala macam tanda. Dalam perkembangannya semiotika lebih populer dibanding semiologi.
Asal kata semiotika yakni dari kata yunani: semeion, yang artinya tanda. Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda dan produksi makna. Tanda yaitu sesuatu bagi seseorang yang memiliki arti sesuatu yang lain. Zoest berpendapat, segala hal yang dapat dibuat, diamati dan diteliti disebut dengan tanda. Tanda yang dimaksud yaitu tidak hanya pada benda saja, melainkan peristiwa dan sebuah kebiasaan juga. Contohnya: bendera, isyarat tangan, kata, kebisingan, kebiasaan makan, gerak syaraf, wajah merona merah, kesukaan tertentu, sikap, uban, gagap, berbicara cepat, dan lain-lain.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian ber(di)kembang(kan) pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual. Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat; Lambaian tangan yang bsa diartikan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Kita hidup dan bermain dalam tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, atau dering telepon; juga tanda tulisan, diantaranya huruf dan angka. Bisa juga, tanda gambar berbentuk rambu lalu lintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44).[2]

1.      Karakteristik Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)  memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Macam-macam Semiotika
Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang. Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif,  faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
  1. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
  2. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.
  3. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.
  4. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah system tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat.
  5. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
  6. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.
  7. Semiotik normative merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
  8. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambing rangkaian kata berupa kalimat.
  9. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah system tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
2.      Semiotika Komunikasi
Bidang terapan semiotika pada bidang komunikasi tidak terbatas. Misalnya, bisa mengambil objek penelitian mulai dari pemberitaan media massa, komunikasi periklanan, , film, dan music.
·         Media, Pada dasarnya studi media massa mencakup pencarian makna-makna dalam materinya. Mempelajari media adalah mempelajari makna.. maka dari itu, metode penelitian dalam komunikasi harus mampu mengungkapkan makna yang terkandung dalam materi pesan komunikasi. Kajian semiotika dalam media cetak umumnya adalah mengusut ideology yang melatari pemberitaan.
Dalam studi media, ada 3 macam pendekatan:
1)      Pendekatan politik-ekonomi (the political-economy approach), Pendekatan Politik-ekonomi berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan pada kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Media sebagai bisnis, 3 faktor menjadi hal yang sangat mempengaruhi isi atau arahan suatu berita dalam media: pemilik media, modal dan pendapatan. Factor-faktor tersebut yang menentukan bagaimana isi media, peristiwa apa yang ditampilkan, serta kearah mana pemberitaan media.
2)      Pendekatan organisasi (organizational approach), Pendekatan organisasi bertolak belakang dengan pendekatan politk-ekonomi. Pengelola media tidak bisa mengekspresikan keinginannya, karena organisasi adalah struktur, ada batasan-batasan kekuasaan. Pendekatan organisasi justru melihat pihak pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukkan dan produksi media. Unsure-unsur yang mempengaruhi media dalam pendekatan organisasi adalah praktik kerja, profesionalisme dan tata aturan yang ada dalam organisasi.
3)      Pendekatan kulturalis (culturalist approach), Pendekatan kulturalis merupakan gabungan antara pendekatan plotik-ekonomi dengan pendekatan organisasi. Dalam produksi media banyak perdebatan yang terjadi dalam ruang pemberitaan. Media pada dasarnya adalah mempunyai mekanisnme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi pada akhirnya pola tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan politk-ekonomi di luar media.
·         Periklanan
Iklan dapat disampaiknan dalam dua media masa, yaitu media cetak dan media elektronik. Iklan tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar, warna dan bunyi. Pengirim pesan adalah penjual produk, dan penerima pesan adalah khalayak.
Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, maka kita bisa mengkajinya lewat system tanda dalam iklan. System tanda dalam iklan terdiri atas lambing, baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televise, dan film.
Bagaimana memilih sampel iklan agar bisa dianalisis? Sebaiknya pilihlah iklan yang yang penuh dengan bahan yang dapat dianalisis, seperti iklan dengan orang, subjek, latar belakang menarik, naskah yang menarik, dan sebagainya. Dalam menganalisis iklan, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1.      Penanda, dan petanda
2.      Gambar, indeks, dan symbol
3.      Fenomena sosiologi, demografi orang didalam iklan dan orang-orang yang menajdi sasaran ikla, refleksi kela-kelas social-ekonomi, gaya hidup dan sebagainya
4.      Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk, melalui naskah dan orang-orang yang dilibatkan di dalam iklan
5.      Desain iklan, termasuk tipe perwajahan yan digunakan, warna dan unsure estetik yang lain.
6.      Publikasi yang ditentukan di dalam iklan, dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi tersebut
(Berger, 2000a:199)
Untuk menganalisis iklan, kita juga bisa menggunakan model Roland Barthes, yaitu:
1.      Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan)
2.      Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan, yang hanyak berfungsi jika dikaitkan dengan system tanda yang lebih luas dalam masyarakat)
3.      Pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan)
·         Film
Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak khalayak dan segmen social membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Hubungan antara film dan masyarakatselalu dipahami secara linier. Artimya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian meproyeksikannya ke atas layar (Irawanto, 1999:13).
Graeme Turner menolak perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat. Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar ‘memindah’ realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realotas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,konvensi-konvensi, dan ideology dari kebudayaannya.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tnda itu termasuk berbagai system tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara dan music fil. System semiotika yang lebij penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu
·         Musik
Apa yang dapat kita kaji pada musik yang menganut sistem tanda auditif.
Aart van Zoest (1993) memberikan tiga kemungkinan cara dalam melalukan analisis semiotika pada musik. Lihat dalam Sobur (2004: 144-145).
Pertama, untuk menganggap unsur-unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala neurofisiologis pendengar. Dengan demikian, irama musik dapat dihubungkan dengan ritme biologis. Kedua, untuk menganggap gejala-gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal. Ketiga, untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksikal.
Bagi Zoest, sifat indeksikal tanda musik ini merupakan kemungkinan yang paling penting, sebab simbolitas juga wujud dalam musik, baik menyangkut jenis, historisitas, maupun gaya senantiasa menjadi bagian yang kompleks yang diekspresikan dalam musik. Melalui tanda (sintak, semantic dan ekspressif), kita bukan hanya dapat mengenali pesan/makna yang disampaikan dalam musik, akan tetapi juga dapat mengenali perasaan seseorang (kebahagian, kesedihan, dan sebagainya) melalui musik. Lihat contoh analisis Zoest dalam Sylado (1977) yang menafsirkan tanda-tanda kesedihan lewat lagu pop Amerika tahun 60 –an yang berjudul Crying in the Rain, hit besar Everly Brothers (Sobur, 2004: 146)
Sebagai satu proses simbolik, Alan P. Marriam melalui bukunya Anthropology of Music menekankan pentingnya studi tentang fungsi musik dalam masyarakat. Menurutnya, simbolisme musik dan fungsinya dapat dikaji melalui aspek instrumentation, word of songs, native typology and classification of music, role and status of musicians, function of music in relation to other aspect of culture and music as creative activity (Bandem, 1981, dalam Sobur, 2004: 147).
Musik juga sesungguhnya menjadi refresentasi dari kehidupan masyarakat kita, sebab musik merupakan ekspresi dari perasaan dan hati seseorang. Memahami masyarakat dan perasaannya antara lain dapat dilakukan melalui kajian musiknya, sebagaimana mengkaji musik juga dapat memberikan gambaran tentang masyarakat dan perasaan orang-orang di sekitarnya. Itulah kepercayaan dalam analisis semiotika komunikasi pada musik.

DAFTAR PUSTAKA


Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010).
Rakhmat, Jalaludin. 1999. Metode Penelitian Komunikasi. Rosdakarya: Bandung.




[1] Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h.11.
[2] Ibid., 16. 

0 comments:

Posting Komentar